Petualangan Restoran Cepat Saji

Gambar beragam hidangan mie dan nasi, minuman aneka warna, juga hidangan penutup yang selalu cantik mengelilingiku,

mengajukan teka-teki

tentang hidup dan mati

tentang harapan dan keinginan

tentang kau dan aku.

 

Seorang pelayan berseragam merah tiba-tiba berdiri di sampingku,

tersenyum manis, menyamarkan seringai dan taring tajam, siap mencatat jawabanku—

menjadikannya hitam (atau biru, atau merah, atau entah) di atas putih

menjadikannya nyata

menjadikannya tak terbantah.

 

Di belakangnya, di dalam dapur bergaya terbuka,

koki dengan saputangan sebagai penutup kepala menunggu tanpa ekspresi

sementara uap mengepul-ngepul seperti penampakan roh ubur-ubur yang telah martir di dalam panci-panci aluminium.

Segala peralatan masak berdentang, berdentum,

seakan mengingatkan bahwa waktu terus berdenyut dan

tak banyak yang tersisa untukku.

 

Hati-hati kulihat mereka di meja sebelah: sepasang kekasih.

Yang perempuan sepertinya kurang enak badan. Ia menyantap makanan orang sakit—sepiring nasi dan semangkuk sayuran berkuah hangat. Yang lelaki hanya memesan minum, menjadi sukarelawan mengelus dan memijat punggung si perempuan,

sambil melirik ke arahku dan mengedipkan mata kirinya.

 

Segera kualihkan pandang ke mereka di meja yang lain: seorang ibu dan anak perempuannya.

Sepertinya mereka terlalu larut dalam pembicaraan daripada menghabiskan makanan. Si Ibu bercerita panjang lebar tentang hidupnya, “Yah, pada akhirnya, aku menjadi seperti sekarang ini. Sibuk mengurusi cucu. Tapi aku bahagia.” Tawanya berderai di bawah sorot mata yang kerutnya sudah bertumpuk-tumpuk. Si Anak tersenyum lalu mengangguk, entah karena tercerahkan oleh perkataan ibunya atau memang memilih untuk menurut saja karena sudah terlampau mengenali perempuan itu.

Hampir berbarengan mereka memanggil pelayan, memintanya untuk membungkuskan makanan yang tidak habis sekaligus meminta bon.

 

Kemudian kuperhatikan mereka yang membereskan meja yang baru ditinggalkan: pelayan lelaki dan perempuan.

Yang pertama mengelap permukaan meja dan berkata, “Sekali-kali ke rumah gue, dong.”

Yang satunya menyapu lantai dan berkata, “Emang rumah lo di mane?”

“Lah pan deketan sama rumah si Eni, di daerah Plumpang. Tapi sonoan dikit lagi.”

“Ah, palingan lo-nye juge kage ade.”

Pekerjaan mereka hampir rampung. Tangan-tangan mereka sungguh cekatan sehingga melihat mulut-mulut mereka lancar bertukar kata di waktu yang sama adalah pengalaman yang menakjubkan.

“Pan bisa telpon dulu. Jadi pas lo dateng gue pasti ade.” Mereka berlalu sambil membawa lap dan sapu.

“Iye.. iye.” Meja dan lantai di bawahnya berkilap-kilap.

 

Tiba-tiba pelayan yang sedari tadi berdiri di sampingku berbicara,

“Apakah Mbak sudah mempunyai jawaban?”

Oh! pikirku

Sudahkah aku?

Oh! lihat

Ia tersenyum lebih manis dari sebelumnya.

Dan aku bisa melihat taringnya.

Apa yang bisa kukatakan tentang kita?

Apakah ada jawaban yang salah atau benar?
Apakah, kalau jawabanku salah,

aku akan bernasib seperti ubur-ubur di dapur tadi kemudian menjelma kepulan asap di dapurmu?

Apakah, kalau jawabanku sekarang benar,

aku tak akan disodori teka-teki yang lain lagi?

 

Kulihat jendela di sampingku,

jendela yang bertempelkan gambar beragam hidangan mie dan nasi, minuman aneka warna, juga hidangan penutup yang selalu cantik.

 

Di baliknya,

kulihat kau bergerak luar biasa lambat di antara mereka yang berlesatan seolah manusia-manusia super, dan kau

 

se

ma

kin

jauh

 

sehingga walaupun kau menoleh,

kau tak akan mampu melihatku,

apalagi mataku yang tergenang

 

karena aku terjebak di balik telur mata sapi, kecambah, butir-butir nasi dan irisan cabai merah.

 

 

– diambil dari sini